Jakarta, ibukota kita, mempunyai masalah yang begitu kompleks. wacana akan pemindahan Jakarta bermunculan..
Kemacetan, perkampuhan kumuh, banjir, polusi tidak pernah lepas dari ibukota negara kita, Jakarta. Dengan kepadatan kota Jakarta yang mencapai 15.000 orang/km2, bermunculanlah opini untuk memindahkan ibukota ke tempat yang lebih “layak”. Ongkosnya tentu saja mahal, namun bukan tidak terbayarkan.
Persoalannya, menurut ahli tata kota Jakarta, setuju soal pemindahan, bukanlah soalnya. Dalam sejarah negeri ini sudah berulang kali wacana itu terlontar. Di awal tahun 2007, ketika 70% wilayah Jakarta terendam banjir, pemikiran itu mencuat kembali. Saat itu, kegiatan ekonomi terhambat akibat transportasi yang lumpuh, sampai-sampai rombongan presiden ikut terhadang banjir.
Walaupun Jakarta yang sudah penuh sesak seperti itu, Jakarta masih menarik sebagai tempat untuk menghasilkan uang. Mulai dari pusat pemerintahan, bisnis, perdagangan, sampai perputaran uang terdapat di Jakarta. Untuk pemindahan ibukota ini, tidak seluruh isi Jakarta dipindahkan namun hanya fungsi pemerintahannya saja. Jadi, bukan memindahkan masalah ke tempat baru. . .
Tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Williem Daendels, sudah mengangankan ibukota pindah ke Surabaya karena Surabaya dinilai lebih sehat daripada Batavia. Lagipula Surabaya terletak dekat pangkalan laut Belanda sehingga faktor pertahanan dan keamanan lebih baik.
Beberapa waktu kemudian, pemerintah kolonial telah mempersiapkan untuk memindahkan ibukota ke Bandung yang lebih sejuk dan dikelilingi pegunungan. Bukti keseriusanpemerintah kolonial ada pada pembangunan Gouvernements Bedrijven yang sekarang bernama gedung sate. Namun, Perang Dunia II menggagalkan rencana ini.
Di masa kemerdekaan, Palangkaraya pernah disebut Bung Karno untuk lokasi pemindahan ibukota. Gagasan itu muncul setelah melihat pembangunan kota Brasilia yang dipersiapkan menjadi ibukota Brazil. Letak geografis Palangkaraya mirip dengan Brasilia.
Pada masa orde baru, tersebutlah nama Jonggol, Jawa Barat dengan luas tanah 30.000 hektar untuk dijadikan ibukota negara. Sampai-sampai, presiden mengeluarkan keputusan presiden untuk mengatur pengembangan kawasan tersebut. Ternyata belakangan proyek itu hanya akal-akalan pengusaha saja untuk menaikkan harga tanah setempat. Setelah masa orde baru tumbang, tanah tersebut terbengkelai dan terjadi kerusakan hutan lindung.
Berdasarkan perhitungan, Jakarta hanya layak untuk enam juta penduduknya saja. Hal ini berarti sejak tahun 1986 sudah terlampaui. Karena itu, tidak mengherankan muncul banyak masalah di Jakarta. Situasi ini dapat lebih buruk lagi dalam beberapa tahun lagi. Diproyeksikan, pada beberapa tahun ke depan juga, seiring jumlah kendaraan yang terus meningkat, kota Jakarta akan dilanda kemacetan parah. Kendaraan-kendaraan tidak akan dapat bergerak. Hal ini dikarenakan pertambahan jumlah kendaraan tidak diiringi dengan pertambahan panjang jalannya. Sehingga bangunan-bangunan megah, jalanan yang mulus, serta infrastruktur lain yang relatif baik tidak akan ada artinya.
Jakarta juga ternyata tidak memiliki perencanaan tata ruang yang baik. Busway dan tol tengah kota tidak ada dalam rencana tata ruang kota Jakarta walaupun baik. Karena itu, Jakarta sangat semrawut dan tidak teratur jika kita amati.
Seandainya megaproyek ini jadi terlaksana, butuh biaya serta keputusan politik yang kuat. Perencanaan tata ruang kota baru ini juga harus matang. Kota yang baik jika wilayahnya teratur, memiliki pengaturan kawasan (zonasi). Biaya yang besar memang menjadi kendala besar yang dihadapi. Butuh sekitar 46 triliiun untuk itu. Tapi, jika kita melihat negara-negara lain, seperti Brazil dan Jepang, pemindahan ibukota membawa kemajuan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Yang jelas banyak aspek yang harus diperhatikan seperti infrastruktur, letak, ketersediaan energi, dan banyak aspek lainnya.
Tuesday, 15 July 2008
JAKARTA DIPINDAH???
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment